Untuk kali ini Info Uang Kuno akan menceritakan sedikit tentang keadaan saat-saat awal kemerdekaan kita, dimana terjadi adu kekuatan antara uang Belanda dengan uang ORI.
Setelah Indonesia merdeka dan uang Jepang dinyatakan tidak berlaku, Belanda yang pemerintahannya masih di dalam pengasingan di London datang kembali ke Indonesia dan dengan sengaja mengeluarkan uang baru. Uang tersebut dicetak oleh American Bank Note Company dan sering disebut sebagai uang NICA. Sebenarnya penyebutan sebagai uang NICA hanya terdapat di KUKI saja, sedangkan untuk katalog Mevius seri ini dikelompokkan sebagai seri munbiljet mengikuti seri2 munbiljet lainnya (1919, 1920, dan 1940). Pembahasan tentang seri munbiljet yang dikeluarkan oleh Departeman Keuangan Pemerintah Belanda akan dibahas dilain kesempatan.
Jadi patut diperhatikan bahwa uang ini bukan dicetak oleh Javasche Bank, melainkan oleh pemerintah Belanda sendiri. Karenanya uang NICA memiliki ciri2 yang khas Belanda seperti:
- Tertulis kata NEDERLANDSCH INDIE, bukan JAVASCHE BANK (perhatikan seri-seri munbiljet lainnya)
- Terdapatnya gambar Ratu Wilhelmina
- Terdapatnya lambang kerajaan Belanda
- Di bagian belakang terdapat gambar angkatan perang Belanda
- Ditandatangani bersama antara Gubernur Jendral Nederlandsch Indie
HJ v Mook dan Presiden Javasche bank Dr. RE Smits
Rakyat menyebut uang NICA ini sebagai uang merah karena warnanya pada pecahan 10 gulden yang merah menyala. Sedangkan uang ORI yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia sebagai tandingannya sering disebut sebagai uang putih.
Uang 'merah' NICA
Uang 'putih' ORI
Uang 'merah' NICA
Uang 'putih' ORI
Setelah perang dunia II selesai, sekutu sebagai pemenang perang datang kembali ke Indonesia di bawah bendera AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Philip Christison. Tugas AFNEI adalah sebagai berikut:
1. Menerima penyerahan dari tangan Jepang.
2. Membebaskan para tawanan perang Sekutu.
3. Melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan.
4. Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintahan sipil Hindia belanda (NICA)
5. Menghimpun keterangan tentang penjahat perang dan menuntut mereka di depan pengadilan Sekutu.
Kedatangan sekutu awalnya disambut baik (netral) oleh pemimpin Indonesia sebab melihat tugas yang dibawanya. Namun setelah mengetahui bahwa ternyata sekutu membawa NICA (Netherlands Indies Civil Administration) maka Indonesia mulai curiga dan meragukan maksud kedatangan pasukan sekutu tersebut.
Kecurigaan tersebut disebabkan karena:
1. NICA adalah pegawai sipil pemerintah Hindia-Belanda yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan sipil di Indonesia.
2. Dugaan bahwa Belanda mau menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia sebab Belanda masih merasa memiliki hak di Indonesia.
3. NICA mempersenjatai orang-orang KNIL yang baru dilepaskan dari tawanan Jepang.
Karena itu pihak Indonesia menentang dengan keras kedatangan sekutu, perangpun pecah, apalagi setelah timbulnya kejadian tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby pemimpin Brigade 49 Divisi India di Surabaya tanggal 30 Oktober 1945. Jendral Mallaby ditembak oleh orang yang tidak dikenal dan mobilnya di bakar. Peristiwa ini merupakan salah satu pemicu terjadinya Pertempuran 10 November di Surabaya.
.
Mobil Jendral Mallaby yang hangus terbakar
Uang merah alias NICA tidak diakui oleh pemerintah Indonesia sebagai alat pembayaran yang sah, yaitu dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah pada 2 Oktober 1945. Walaupun demikian uang NICA terus beredar di daerah yang masih diduduki Belanda. Semua ini dilakukan oleh Belanda agar dapat menghancurkan Indonesia sehingga dapat berkuasa kembali. Cara lain yang dilakukan 0leh pihak Belanda adalah dengan membuat ORI palsu agar nilainya hancur, hampir semua jenis ORI dibuat palsunya tetapi terutama ORI dengan nominal besar (100 rupiah).
Peredaran uang NICA yang bersamaan dengan ORI telah menimbulkan kekacauan bagi rakyat, khususnya penduduk yang tinggal di daerah perbatasan antara daerah yang dikuasai Belanda dan daerah yang dikuasai Indonesia. Di satu pihak, penduduk yang memiliki ORI takut jika diketahui tentara Belanda. Di lain pihak, mereka yang memiliki uang NICA juga takut jika diketahui oleh pasukan Republik Indonesia. Kurs NICA-ORI waktu itu bervariasi dikisaran 1:10 sampai 1:5.
Tak ayal lagi selain terjadi perang fisik terjadi juga 'perang uang' di daerah-daerah pendudukan seperti di Jakarta, Bogor, Bandung dan kota-kota besar lainnya yang diduduki Belanda. Pertarungan dua mata uang ini memaksa setiap orang harus menentukan pilihan : menolak atau menerima antara uang NICA dan ORI.
Tidak jarang suasana yang demikian menimbulkan insiden, penduduk yang setia kepada RI hanya mau menggunakan ORI sebagai alat pembayaran yang sah, dan semakin lama ORI semakin populer di kalangan rakyat sehingga ada surat kabar yang terbit di Jakarta saat itu memuat berita dengan judul "Uang Kita Menang, Kata Rakjat Djakarta".
Pada 27 Mei 1947, Komisi Jendral Belanda mengajukan nota kepada pihak RI yang harus dijawab dalam waktu 14 hari. Isinya antara lain mengajak kedua pihak untuk mengeluarkan uang bersama. Pada prinsipnya usul Belanda ini diterima tetapi tidak pernah dilaksanakan karena adanya berbagai masalah lain yang timbul, terutama masalah politik. ORI dan ORIDA tetap berlaku hingga ditarik kembali dari peredarannya oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat pada bulan Maret 1950 untuk kemudian diganti dengan uang seri RIS.
Beredarnya uang ORI di Jawa dan madura disambut gembira masyarakat karena akhirnya Indonesia memiliki mata uangnya sendiri. Karena ORI tidak dapat diedarkan di Sumatera dan beberapa daerah lainnya (karena alasan keamanan, transportasi dll) maka daerah2 tersebut mengeluarkan jenis uang sendiri (ORIDA = Oeang Republik Indonesia Daerah) seperti :
ORIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Provinsi Sumatra)
ORIKA (Oeang Republik Indonesia Kaboepaten Asahan)
URIDJA (Uang Republik Indonesia Keresidenan Djambi)
ORIDA (Oeang Republik Indonesia Keresidenan Atjeh) dan lain sebagainya.
URIDJA (Uang Republik Indonesia Keresidenan Djambi)
ORIDA (Oeang Republik Indonesia Keresidenan Atjeh) dan lain sebagainya.
Uang Daerah sangat banyak jenisnya, lebih dari 530 jenis yang sudah terdata belum lagi ditambah dengan berbagai variasi nomor seri, stempel dan tanda tangan. Semoga pada suatu saat website ini juga dapat memuat kisahnya.
Demikianlah sedikit kisah perang uang yang terjadi sekitar tahun 1945-1949, semoga dapat menambah pengetahuan kita bersama. Akhir kata saya mengucapkan terima kasih kepada nara sumber yang telah banyak membantu. Terutama bapak Alwi Shahab untuk bukunya Batavia Kota Hantu, Pemerintah Jawa Timur dengan koleksi arsip Kementrian Dalam Negeri, Wikipedia dan teman-teman kolektor lainnya.
Jakarta 26 Agustus 2010
Kritik dan saran hubungi arifindr@gmail.com
No comments:
Post a Comment